ANTARA PAGI DAN MALAM
HARI
Oleh Kahlil
Gibran
Tenanglah hatiku, karena langit tak pun mendengari
Tenanglah, karena bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, karena roh-roh malam tak menghiraukan bisikan
rahsiamu, dan bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi. Tenanglah,
hatiku. Tenanglah hingga fajar tiba, karena dia yang menanti pagi dengan
sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan. Dia yang mencintai cahaya,
dicintai cahaya.
Tenanglah hatiku, dan dengarkan ucapanku.
Dalam mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang
di atas kawah gunung berapi yang meletus.Kulihat sekuntum bunga Lili
menyembulkan kelopaknya di balik salju. Kulihat seorang bidadari telanjang
menari-menari di antara batu-batu kubur. Kulihat seorang anak tertawa
sambil bermain dengan tengkorak. Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah
mimpi. Ketika aku terjaga dan memandang sekelilingku, kulihat gunung
berapi memuntahkan nyala api, tapi tak kudengar murai bernyanyi, juga tak
kulihat dia terbang. Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan
lembah, dilapisi warna putih mayat dari bunga lili yang membeku. Kulihat
kuburan-kuburan , berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman yang
tenang. Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian,
juga tidak yang tertunduk dalam doa. Saat terjaga, kulihat kesedihan dan
kepedihan; ke mana perginya kegembiraan dan kesenangan impian? Mengapa keindahan
mimpi lenyap, dan bagaimana gambaran-gambarannya menghilang?Bagaimana mungkin
jiwa tertahan sampai sang tidur membawa kembali roh-roh dari hasrat dan
harapannya?
Dengarlah hatiku, dan dengarlah ucapanku. Semalam jiwaku adalah
sebatang pohon yang kokoh dan tua, menghunjam akar-akarnya ke dasar bumi dan
cabang-cabangnya mencekau ke arah yang tak terhingga. Jiwaku berbunga di
musim bunga, memikul buah pada musim panas. Pada musim gugur kukumpulkan
buahnya di mangkuk perak dan kuletakkannya di tengah jalan. Orang-orang
yang lalu lalang mengambil dan memakannya, serta melanjutkan perjalanan mereka.
Kala musim gugur berlalu dan gita pujinya berubah menjadi lagu
kematian dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali
satu-satunya buah di talam perak. Kuambil ia dan memakannya, dan merasakan
pahitnya bagai kayu gaharu, masam bak anggur hijau. Aku berbicara dalam
hati, "Bencana bagiku, karena telah Kutempatkan sebentuk laknat di dalam
mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam perutnya. " Apa yang
telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang telah meresap
dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah meneguk cahaya
matahari? " Lalu kucabut pohon jiwaku yang kokoh dan
tua. Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas
dan tumbuh dengan subur. Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan
kenangan seribu musim semi dan seribu musim gugur. Dan kutanam sekali lagi
pohon jiwaku di tempat lain. Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh
dari jalan-jalan waktu. Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil
berkata, "Mengamati bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan
bintang." Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil
berkata, "Ada sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata sebentuk
kemanisan." Tatkala musim bunga tiba, jiwaku berbunga lagi.
Pada musim panas jiwaku menyandang buah. Tatkala musim gugur
tiba, kukumpulkan buah-buahnya yang matang di talam emas dan kuletakkan di
tengah jalan. Orang-orang melintas, satu demi satu atau dalam
kelompok-kelompok, tapi tak satu pun mengulurkan tangannya untuk mengambil
bagiannya. Lalu kuambil sebuah dan memakannya, merasakan manisnya bagai
madu pilihan, lezat seperti musim bunga dari surga, sangat menyenangkan laksana
anggur Babylon, wangi bak wangi-wangian dari melati. Aku menjerit,
"Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau kebenaran dalam
usus mereka, karena rahmat adalah puteri airmata dan kebenaran putra darah!
"Lalu aku beralih dan duduk di bawah bayangan pohon sunyi jiwaku di sebuah
padang yang tempatnya jauh dari jalan waktu.
Tenanglah hatiku, sampai fajar tiba. Tenanglah, karena
langit menghembus bau amis kematian dan tak bisa meminum nafasmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar